MAKALAH
PENGANTAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan International adalah salah satu cabang ilmu dari bidang Ilmu
Politik. Dalam ilmu lebih menekankan pada situasi global di negeri luar
sana sehingga kita sebagai warga negara indonesia ini dapat
membandingkan sesuatu hal yang tidak dapat diatasi oleh bangsa kita
sendiri. Dalam situasi modern ini, banyak manfaat yang dapat kita raih
dari cabang ilmu ini seperti membantu stabilitas politik di negeri
sahabat kita terutama karena Indonesia merupakan negera mayoritas
muslim, kita merasa seperti saudara se-agama dengan bangsa Palestina dan
Irak, maka daripada itu kita dapat membantu keterpurukan bangsa
tersebut dengan ilmu ini.
Dalam ilmu ini dijabarkan beberapa teori-teori yang berkaitan dan
bersinambung dengan disiplin ilmu lainnya seperti ekonomi, sejarah,
hukum, filsafat, geografi, sosiologi, antropologi, psikologi,
studi-studi budaya dalam kajian-kajiannya. Sehinnga dapat benar-benar
membantu dalam prekteknya bukan hanya dalam kajian teorinya saja. Tidak
hanya saja mencakup beberapa disiplin ilmu lainnya yang membantu pada
kajian yang positif, kita juga tidak mengelakan beberapa kejian dalam
hubungan international yang bersifat evil seperti HI mencakup
rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-dampaknya terhadap
masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai kelestrarian
ekologis, proliferasi nuklir, nasionalisme, perkembangan ekonomi,
terorisme, kejahatan yang terorganisasi, keselamatan umat manusia, dan
hak-hak asasi manusia.
Di dalam makalah ini juga di lampirkan beberapa teori-teori yang di
anggap sangat relevan dan membantu juga terdapat sejarah tentang
terbentuknya dasar-dasar ilmu hubungan international.
Demikian telah kita lihat beberapa penjabaran yang secara ringkas
namun padat dan jelas, untuk lebih padat dan detailsnya dalam dilihat
pada isi dari makalah ini.
TUJUAN
- Mengetahui sejahah bagaimana disiplin ilmu hubungan international untuk pertama kalinya lahir dan kelanjutannya pada dunia masa kini.
- Mengetahui apakah arti dari “Hubungan International” secara ilmu pengetahuannya, teori, realitasnya.
- Mengetahui Studi Bidang HI.
- Mengetahui beberapa teori dari para tokoh-tokoh terkenal dunia.
MASALAH
- Apakah disiplin ilmu hubungan international itu merupakan salah satu dari ilmu pengetahuan?
- Apakah teori-teori yang tercantum dalam hubungan international relevan dari prakteknya?
- Apakah kandungan isi dari ilmu hubungan international mengalami bentrok dengan beberapa disiplin ilmu lainnya karena ilmu ini bersifat subsitioner?
BAB II
ANALISIS
1. Dasar teori
Hubungan Internasional, cabang dari ilmu politik, adalah studi
tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu global di antara
negara-negara dalam sistem internasional, termasuk peran negara-negara,
organisasi-organisasi antarpemerintah, organisasi-organisasi
nonpemerintah atau lembaga swa daya masyarakat, dan
perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan Internasional adalah suatu
bidang akademis dan kebijakan publik dan dapat bersifat positif atau
normatif karena Hubungan Internasional berusaha menganalisis serta
merumuskan kebijakan luar negeri negara-negara tertentu.
Selain ilmu politik, Hubungan Internasional menggunakan perbagai
bidang ilmu seperti ekonomi, sejarah, hukum, filsafat, geografi,
sosiologi, antropologi, psikologi, studi-studi budaya dalam
kajian-kajiannya. HI mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi
dan dampak-dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan
negara sampai kelestrarian ekologis, proliferasi nuklir, nasionalisme,
perkembangan ekonomi, terorisme, kejahatan yang terorganisasi,
keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi manusia.
2. Sejarah Hubungan Internasional
Sistem Internasional Sejarah hubungan internasional sering dianggap
berawal dari Perdamaian Westphalia pada 1648, ketika sistem negara
modern dikembangkan. Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik
abad pertengahan Eropa didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak
jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada
dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang
sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang
sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama.
Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem
Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang
memadai.
Westphalia mendukung bangkitnya negara-bangsa (nation-state),
institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem yang berasal
dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat
kolonialisme, dan “standar-standar peradaban”. Sistem internasional
kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi selama Perang Dingin.
Namun, sistem ini agak terlalu disederhanakan. Sementara sistem
negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara tidak masuk ke dalam
sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”. Lebih lanjut, beberapa
telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap “pasca-modern”.
Kemampuan wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara
jenis-jenis negara yang berbeda ini diperselisihkan. “Level-level
analisis” adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang
mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unik,
level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional
dan internasional level global.
3. Teori hubungan internasional Artikel utama: Teori hubungan internasional
Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional
tidak dikembangkan sampai setelah Perang Dunia I, dan dibahas secara
lebih rinci di bawah ini. Namun, teori HI memiliki tradisi panjang
menggunakan karya ilmu-ilmu sosial lainnya. Penggunaan huruf besar “H”
dan “I” dalam Hubungan Internasional bertujuan untuk membedakan disiplin
Hubungan Internasional dari fenomena hubungan internasional. Banyak
orang yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia karya Thucydides sebagai
inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan The
Prince karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut. Demikian
juga, liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau, dengan karya Kant
sering dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian
Demokratis. Meskipun hak-hak asasi manusia kontemporer secara signifikan
berbeda dengan jenis hak-hak yang didambakan dalam hukum alam,
Francisco de Vitoria, Hugo Grotius, dan John Locke memberikan
pernyataan-pernyataan pertama tentang hak untuk mendapatkan hak-hak
tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada abad ke-20, selain
teori-teori kontemporer intenasionalisme liberal, Marxisme merupakan
landasan hubungan internasional.
4. Studi HI
Pada mulanya, hubungan internasional sebagai bidang studi yang
tersendiri hampir secara keseluruhan berkiblat ke Inggris. Pada 1919,
Dewan Politik internasional dibentuk di University of Wales,
Aberystwyth, lewat dukungan yang diberikan oleh David Davies, menjadi
posisi akademis pertama yang didedikasikan untuk HI. Pada awal 1920-an,
jurusan Hubungan Internasional dari London School of Economics didirikan
atas perintah seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Phillip
Noel-Baker. Pada 1927, Graduate Institute of International Studies
(Institut universitaire de hautes Ã(c)tudes internationales), didirikan
di Jenewa, Swiss; institut ini berusaha menghasilkan sekelompok personel
khusus untuk Liga Bangsa-bangsa. Program HI tertua di Amerika Serikat
ada di Edmund A. Walsh School of Foreign Service yang merupakan bagian
dari Georgetown Unversity. Sekolah tinggi pertama jurusan hubungan
internasional yang menghasilkan lulusan bergelar sarjana adalah Fletcher
Schooldi Tufts. Meskipun pelbagai sekolah tinggi yang didedikasikan
untuk studi HI telah didirikan di Asia dan Amerika Selatan, HI sebagai
suatu bidang ilmu tetap terutama berpusat di Eropa dan Amerika Utara.
5. Teori Epistemologi and teori HI
Teori-teori Utama Hubungan Internasional Realisme, Neorealisme,
Idealisme, Liberalisme, Neoliberalisme, Marxisme, Teori dependensi,
Teori kritis, Konstruksivisme, Fungsionalisme, Neofungsiionalisme.
Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan
epistemologis “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis
bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis
dampak kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya berfokus
berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran kekuatan-kekuatan
militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Epistemologi
pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan
cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide
sentral tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan
rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke
dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” HI adalah tidak mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa
sementara teori-teori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan
berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti mengapa dan
bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis
berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa yang
dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya,
bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi.
Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan
pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini
merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam HI “tradisional” karena
teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan
penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama periode akhir
1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis dan
para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang
dominan dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga (Lapid 1989).
Teori-teori Positivis Liberalisme/idealisme/Internasionalisme Liberal
Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I
untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan
membatasi perang dalam hubungan internasional mereka.
Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal
Angell, yang berargumen dengan berbagai cara bahwa negara-negara
mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan bahwa
perang terlalu destruktif untuk bisa dikatakan sebagai pada dasarnya
sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai
paham tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme
oleh E.H. Carr. Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada
hak-hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional,
dikemukakan oleh Hans Kóchler
Realisme Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada
intinya menyangkal bahwa negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para
realis awal seperti E.H. Carr, Daniel Bernhard, dan Hans Morgenthau
berargumen bahwa, untuk maksud meningkatkan keamanan mereka,
negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari
kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan diri sendiri
(self-interested). Setiap kerja sama antara negara-nge dijelaskan
sebagai benar-benar insidental. Para realis melihat Perang Dunia II
sebagai pembuktian terhadap teori mereka. Perlu diperhatikan bahwa para
penulis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes sering
disebut-sebut sebagai “bapak-bapak pendiri” realisme oleh orang-orang
yang menyebut diri mereka sendiri sebagai realis kontemporer. Namun,
meskipun karya mereka dapat mendukung doktrin realis, ketiga orang
tersebut tampaknya tidak mungkin menggolongkan diri mereka sendiri
sebagai realis (dalam pengertian yang dipakai di sini untuk istilah
tersebut).
Neorealisme terutama merupakan karya Kenneh Waltz (yang sebenarnya
menyebut teorinya “realisme struktural”). Sambil tetap mempertahankan
pengamatan-pengamatan empiris realisme, bahwa hubungan internasional
dikarakterka oleh hubungan-hubungan antarnegara yang antagonistik, para
pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem
internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan
yang mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam negeri
negara-negara. Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif
(relative gains) dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan.
Tidak seperti realisme, neo-realisme berusaha ilmiah dan lebih
positivis. Hal lain yang juga membedakan neo-realisme dari realisme
adalah bahwa neo-realisme tidak menyetujui penekanan realisme pada
penjelasan yang bersifat perilaku dalam hubungan internasional.
Neoliberalisme berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi
neorealis bahwa negara-negara adalah aktor-aktor kunci dalam hubungan
internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor
bukan negara dan organisasi-organisasi antarpemerintah adalah juga
penting. Para pendukung seperti Joseph Nye berargumen bahwa
negara-negara akan bekerja sama terlepas dari pencapaian-pencapaian
relatif, dan dengan demikian menaruh perhatian pada
pencapaian-pencapaian mutlak. Meningkatnya interdependensi selama Perang
Dingin lewat institusi-institusi internasional berarti bahwa
neo-liberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Hal ini juga
berarti bahwa pada dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan
mereka sendiri tentang bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa
organisasi-organisasi internasional yang merintangi hak suatu bangsa
atas kedaulatan. Neoliberalimse juga mengandung suatu teori ekonomi yang
didasarkan pada penggunaan pasar-pasar yang terbuka dan bebas dengan
hanya sedikit, jika memang ada, intervensi pemerintah untuk mencegah
terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk konglomerasi yang lain.
6. Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)
6. Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)
Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Pemikiran
Inggris, berfokus pada berbagai norma dan nilai yang sama-sama dimiliki
oleh negara-negara dan bagaimana norma-norma dan nilai-nlai tersebut
mengatur hubungan internasional. Contoh norma-norma seperti itu mencakup
diplomasi, tatanan, hukum internasional. Tidak seperti neo-realisme,
teori ini tidak selalu positivis. Para teoritisi telah berfokus terutama
pada intervensi humanitarian, dan dibagi kembali antara para solidaris
yang cenderung lebih menyokong hal tersebut, dan para solidaris, yang
lebih menekankan tatanan dan kedaulatan, Nicholas Wheeler adalah seorang
solidaris terkemuka, sementara Hedley Bull mungkin merupakan pluraris
yang paling dikenal.
Kontrukstivisme Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan menangani berbagai pertanyaan tentang ontologi, seperti perdebatan tentang lembaga (agency) dan Struktur, serta pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi, seperti perdebatan tentang “materi/ide” yang menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatan-kekuatan materi versus ide-ide. Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai contoh dalam hal neo-realisme, tetapi sebaliknya merupakan teori sosial. Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi apa yang disebut oleh Hopf (1998) sebagai konstruktivisme “konvensional” dan “kritis”. Hal yang terdapat dalam semua variasi konstruktivisme adalah minat terhadap peran yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan ide. Pakar konstruktivisme yang paling terkenal, Alexander Wendt menulis pada 1992 tentang Organisasi Internasional (kemudian diikuti oleh suatu buku, Social Theory of International Politics [1999]), “anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis, Namun, banyak kritikus yang muncul dari kedua sisi pembagian epistemologis tersebut. Para pendukung pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis yang lain. Penggunaan teori pilihan rasional secara implisit oleh Wendt juga telah menimbulkan pelbagai kritik dari para pakar seperti Steven Smith. Para pakar positivis (neo-liberalisme/realisme) berpendapat bahwa teori tersebut mengenyampingkan terlalu banyak asumsi positivis untuk dapat dianggap sebagai teori positivis.
Kontrukstivisme Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan menangani berbagai pertanyaan tentang ontologi, seperti perdebatan tentang lembaga (agency) dan Struktur, serta pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi, seperti perdebatan tentang “materi/ide” yang menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatan-kekuatan materi versus ide-ide. Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai contoh dalam hal neo-realisme, tetapi sebaliknya merupakan teori sosial. Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi apa yang disebut oleh Hopf (1998) sebagai konstruktivisme “konvensional” dan “kritis”. Hal yang terdapat dalam semua variasi konstruktivisme adalah minat terhadap peran yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan ide. Pakar konstruktivisme yang paling terkenal, Alexander Wendt menulis pada 1992 tentang Organisasi Internasional (kemudian diikuti oleh suatu buku, Social Theory of International Politics [1999]), “anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis, Namun, banyak kritikus yang muncul dari kedua sisi pembagian epistemologis tersebut. Para pendukung pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis yang lain. Penggunaan teori pilihan rasional secara implisit oleh Wendt juga telah menimbulkan pelbagai kritik dari para pakar seperti Steven Smith. Para pakar positivis (neo-liberalisme/realisme) berpendapat bahwa teori tersebut mengenyampingkan terlalu banyak asumsi positivis untuk dapat dianggap sebagai teori positivis.
7. Teori Kritis
Artikel utama: Teori hubungan internasional kritis
Teori hubungan internasional kritis adalah penerapan “teori kritis”
dalam hubungan internasional. Pada pendukung seperti Andrew Linklater,
Robert W. Cox, dan Ken Booth berfokus pada kebutuhan terhadap
emansipansi (kebebasan) manusia dari Negara-negara. Dengan demikian,
adalah teori ini bersfat “kritis” terhadap teori-teori HI “mainstream”
yang cenderung berpusat pada negara (state-centric). Catatan: Daftar
teori ini sama sekali tidak menyebutkan seluruh teori HI yang ada. Masih
ada teori-teori lain misalnya fungsionalisme, neofungsionalisme,
feminisme, dan teori dependen.
Teori Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan
realis/liberal tentang konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya
berfokus pada aspek ekonomi dan materi. Marxisme membuat asumsi bahwa
ekonomi lebih penting daripada persoalan-persoalan yang lain; sehingga
memungkinkan bagi peningkatan kelas sebagai fokus studi. Para pendukung
Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis
terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital). Dengan demikian,
periode kolonialisme membawa masuk pelbagai sumber daya untuk
bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk
ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru
dalam bentuk dependensi (ketergantungan). Berkaitan dengan teori-teori
Marx adalah teori dependensi yang berargumen bahwa negara-negara maju,
dalam usaha mereka untuk mencapai kekuasaan, menembus negara-negara
berkembang lewat penasihat politik, misionaris, pakar, dan perusahaan
multinasional untuk mengintegrasikan negara-negara berkembang tersebut
ke dalam sistem kapitalis terintegrasi untuk mendapatkan sumber-sumber
daya alam dan meningkatkan dependensi negara-negara berkembang terhadap
negara-negara maju. Teori-teori Marxis kurang mendapatkan perhatian di
Amerika Serikat di mana tidak ada partai sosialis yang signifikan.
Teori-teori ini lebih lazim di pelbagai bagian Eropa dan merupakan salah
satu kontribusi teoritis yang paling penting bagi dunia akademis
Amerika Latin, sebagai contoh lewat teologi.
Teori-teori pascastrukturalis dalam HI berkembang pada 1980-an dari
studi-studi pascamodernis dalam ilmu politik. Pasca-strukturalisme
mengeksplorasi dekonstruksi konsep-konsep yang secara tradisional tidak
problematis dalam HI, seperti “kekuasaan” dan “agensi” dan meneliti
bagaimana pengkonstruksian konsep-konsep ini membentuk hubungan-hubungan
internasional. Penelitian terhadap “narasi” memainkan peran yang
penting dalam analisis pascastrukturalis, sebagai contoh studi
pascastrukturalis feminis telah meneliti peran yang dimainkan oleh “kaum
wanita” dalam masyarakat global dan bagaimana kaum wanita dikonstruksi
dalam perang sebagai “tanpa dosa” (innocent) dan “warga sipil”.
Contoh-contoh riset pasca-positivis mencakup: Pelbagai bentuk feminisme
(perang “gender” war—“gendering” war) Pascakolonialisme
(tantangan-tantangan dari sentrisme Eropad dalam HI)
8. Konsep-konsep dalam hubungan internasional
Konsep-konsep level sistemik Hubungan internasional sering dipandang
dari pelbagai level analisis, konsep-konsep level sistemik adalah
konsep-konsep luas yang mendefinisikan dan membentuk lingkungan (milieu)
internasional, yang dikarakterkan oleh Anarki.
Kekuasaan
Konsep Kekuasaan dalam hubungan internasional dapat dideskripsikan
sebagai tingkat sumber daya, kapabilitas, dan pengaruh dalam
persoalan-persoalan internasional. Kekuasaan sering dibagi menjadi
konsep-konsep kekuasaan yang keras (hard power) dan kekuasaan yang lunak
(soft power), kekuasaan yang keras terutama berkaitan dengan kekuasaan
yang bersifat memaksa, seperti penggunaan kekuatan, dan kekuasaan yang
lunak biasanya mencakup ekonomi, diplomasi, dan pengaruh budaya. Namun,
tidak ada garis pembagi yang jelas di antara dua bentuk kekuasaan
tersebut.
Polaritas
Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan
kekuasaan dalam sistem internasional. Konsep tersebut muncul dari
bipolaritas selama Perang Dingin, dengan sistem internasional didominasi
oleh konflik antara dua negara adikuasa dan telah diterapkan
sebelumnya. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum 1945 dapat
dideskripsikan sebagai terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan
kekuasaan dibagi-bagi antara negara-negara besar. Runtuhnya Uni Soviet
pada 1991 telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai
unipolaritas, dengan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa
teori hubungan internasional menggunakan ide polaritas tersebut.
Keseimbangan kekuasaan adalah konsep yang berkembang luas di Eropa
sebelum Perang Dunia Pertama, pemikirannya adalah bahwa dengan
menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan menciptakan
stabilitas dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan
kembali mengemuka selama Perang Dingin, sebagai mekanisme sentral dalam
Neorealisme Kenneth Waltz. Di sini konsep-konsep menyeimbangkan
(meningkatkan kekuasaan untuk menandingi kekuasaan yang lain) dan
bandwagoning (berpihak dengan kekuasaan yang lain) dikembangkan. Teori
stabilitas hegemonik juga menggunakan ide Polaritas, khususnya keadaan
unipolaritas. Hegemoni adalah terkonsentrasikannya sebagian besar
kekuasaan yang ada di satu kutub dalam sistem internasional, dan teori
tersebut berargumen bahwa hegemoni adalah konfigurasi yang stabil karena
adanya keuntungan yang diperoleh negara adikuasa yang dominan dan
negara-negara yang lain dari satu sama lain dalam sistem internasional.
Hal ini bertentangan dengan banyak argumen Neorealis, khususnya yang
dikemukakan oleh Kenneth Waltz, yang menyatakan bahwa berakhirnya Perang
Dingin dan keadaan unipolaritas adalah konfigurasi yang tidak stabil
yang secara tidak terelakkan akan berubah. Hal ini dapat diungkapkan
dalam teori peralihan Kekuasaan, yang menyatakan bahwa mungkin suatu
negara besar akan menantang suatu negara yang memiliki hegemoni
(hegemon) setelah periode tertentu, sehingga mengakibatkan perang besar.
Teori tersebut mengemukakan bahwa meskipun hegemoni dapat mengontrol
terjadinya pelbagai perang, hal tersebut menyebabkan terjadinya perang
yang lain. Pendukung utama teori tersebut, A.F.K. Organski, mengemukakan
argumen ini berdasarkan terjadinya perang-perang sebelumnya selama
hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda. Interdependensi Banyak orang
yang menyokong bahwa sistem internasional sekarang ini dikarakterkan
oleh meningkatnya interdepedensi atau kesalingbergantungan: tanggung
jawab terhadap satu sama lain dan dependensi terhadap pihak-pihak lain.
Para penyokong pendapat ini menunjuk pada meningkatnya globalisasi,
terutama dalam hal interaksi ekonomi internasional. Peran
institusi-institusi internasional, dan penerimaan yang berkembang luas
terhadap sejumlah prinsip operasional dalam sistem internasional,
memperkukuh ide-ide bahwa hubungan-hubungan dikarakterkan oleh
interdependensi.
Dependensi
Teori dependensi adalah teori yang paling lazim dikaitkan dengan
Marxisme, yang menyatakan bahwa seperangkat negara Inti mengeksploitasi
kekayaan sekelompok negara Pinggiran yang lebih lemah. Pelbagai versi
teori ini mengemukakan bahwa hal ini merupakan keadaan yang tidak
terelakkan (teori dependensi standar), atau menggunakan teori tersebut
untuk menekankan keharusan untuk berubah (Neo-Marxisme).
9. Perangkat-perangkat sistemik dalam hubungan internasional
Diplomasi adalah praktik komunikasi dan negosiasi antara pelbagai
perwakilan negara-negara. Pada suatu tingkat, semua perangkat hubungan
internasional yang lain dapat dianggap sebagai kegagalan diplomasi.
Pemberian sanksi biasanya merupakan tindakan pertama yang diambil
setelah gagalnya diplomasi dan merupakan salah satu perangkat utama yang
digunakan untuk menegakkan pelbagai pernjanjian (treaties). Sanksi
dapat berbentuk sanksi diplomatik atau ekonomi dan pemutusan hubungan
dan penerapan batasan-batasan terhadap komunikasi atau perdagangan.
Perang, penggunaan kekuatan, sering dianggap sebagai perangkat utama
dalam hubungan internasional. Definisi perang yang diterima secara luas
adalah yang diberikan oleh Clausewitz, yaitu bahwa perang adalah
“kelanjutan politik dengan cara yang lain.” Terdapat peningkatan studi
tentang “perang-perang baru” yang melibatkan aktor-aktor selain negara.
Studi tentang perang dalam Hubungan Internasional tercakup dalam
disiplin “Studi Perang” dan “Studi Strategis”.
Mobilisasi tindakan memperlakukan secara internasional juga dapat
dianggap sebagai alat dalam Hubungan Internasional. Hal ini adalah untuk
mengubah tindakan negara-negara lewat “menyebut dan mempermalukan” pada
level internasional. Penggunaan yang terkemuka dalam hal ini adalah
prosedur Komisi PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia 1235, yang secara publik
memaparkan negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia.
10. Konsep-konsep unit level dalam hubungan internasional
Sebagai suatu level analisis level unit sering dirujuk sebagai level
negara, karena level analisis ini menempatkan penjelasannya pada level
negara, bukan sistem internasional.
Tipe rezim
Sering dianggap bahwa suatu tipe rezim negara dapat menentukan cara
suatu negara berinteraksi dengan negara-negara lain dalam sistem
internasional. Teori Perdamaian Demokratis adalah teori yang
mengemukakan bahwa hakikat demokrasi berarti bahwa negara-negara
demokratis tidak akan saling berperang. Justifikasi terhadap hal ini
adalah bahwa negara-negara demokrasi mengeksternalkan norma-norma mereka
dan hanya berperang dengan alasan-alasan yang benar, dan bahwa
demokrasi mendorong kepercayaan dan penghargaan terhadap satu sama lain.
Sementara itu, komunisme menjustifikasikan suatu revolusi dunia, yang
juga akan menimbulkan koeksitensi (hidup berdampingan) secara damai,
berdasarkan masyarakat global yang proletar. Revisionisme/Status quo.
Negara-negara dapat diklasifikasikan menurut apakah mereka menerima
status quo, atau merupakan revisionis, yaitu menginginkan perubahan.
Negara-negara revisionis berusaha untuk secara mendasar mengubah
pelbagai aturan dan praktik dalam hubungan internasional, merasa
dirugikan oleh status quo (keadaan yang ada). Mereka melihat sistem
internasional sebagai untuk sebagian besar merupakan ciptaan barat yang
berfungsi mengukuhkan pelbagai realitas yang ada. Jepang adalah contoh
negara yang beralih dari negara revisionis menjadi negara yang puas
dengan status quo, karena status quo tersebut kini menguntungkan
baginya.
Sering dianggap bahwa agama dapat memiliki pengaruh terhadap cara
negara bertindak dalam sistem internasional. Agama terlihat sebagai
prinsip pengorganisasi terutama bagi negara-negara Islam, sementara
sekularisme terletak yang ujung lainnya dari spektrum dengan pemisahan
antara negara dan agama bertanggung jawab atas tradisi Liberal.
Level di bawah level unit (negara) dapat bermanfaat untuk menjelaskan
pelbagai faktor dalam Hubungan Internasional yang gagal dijelaskan oleh
teori-teori yang lain, dan untuk beranjak menjauhi pandangan yang
berpusat pada negara (negara-sentris) dalam hubungan internasional.
Faktor-faktor psikologis dalam Hubungan Internasional Mengevaluasi
faktor-faktor psikologis dalam hubungan internasional berasal dari
pemahaman bahwa negara bukan merupakan “kotak hitam” seperti yang
dikemukakan oleh Realisnme bahwa terdapat pengaruh-pengaruh lain
terhadap keputusan-keputusan kebijakan luar negeri. Meneliti peran
pelbagai kepribadian dalam proses pembuatan keputusan dapat memiliki
suatu daya penjelas, seperti halnya peran mispersepsi di antara pelbagai
aktor. Contoh yang menonjol dalam faktor-faktor level sub-unit dalam
hubungan internasional adalah konsep pemikiran-kelompok (Groupthink),
aplikasi lain yang menonjol adalah kecenderungan para pembuat kebijakan
untuk berpikir berkaitan dengan pelbagai analogi-analogi
Politik birokrat – Mengamati peran birokrasi dalam pembuatan
keputusan, dan menganggap keputusan-keputusan sebagai hasil pertarungan
internal birokratis (bureaucratic in-fighting), dan sebagai dibentuk
oleh pelbagai kendala. Kelompok-kelompok keagamaan, etnis, dan yang
menarik diri — Mengamati aspek-aspek ini dalam level sub-unit memiliki
daya penjelas berkaitan dengan konflik-konflik etnis, perang-perang
keagamaan, dan aktor-aktor lain yang tidak menganggap diri mereka cocok
dengan batas-batas negara yang pasti. Hal ini terutama bermanfaat dalam
konteks dunia negara-negara lemah pra-modern. Ilmu, Teknologi, dan
Hubungan Internasional—Bagaimana ilmu dan teknologi berdampak pada
perkembangan, teknologi, lingkungan, bisnis, dan kesehatan dunia.
12. Institusi-institusi dalam hubungan internasional
12. Institusi-institusi dalam hubungan internasional
Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting
dalam Hubungan Internasional kontemporer. Banyak interaksi pada level
sistem diatur oleh institusi-institusi tersebut dan mereka melarang
beberapa praktik dan institusi tradisional dalam Hubungan Internasional,
seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka pembelaan diri).
Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan
dan teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang
menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas
politik yang utama. Mereka berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah
komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi pelbagai tantangan modern
seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen),
status legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang yang tidak
memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi pelbagai
masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan
Paul Raskin telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang
baru dan lebih absah dapat didasarkan pada pluralisme yang dibatasi
(connstrained pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan
institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik: ireduksibilitas
(irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada level
global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada
isu-isu yang benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala
yang lebih kecil diatur pada level-level yang lebih rendah; dan
heterogenitas, yang memungkinkan pelbagai bentuk institusi lokal dan
global yang berbeda sepanjang institusi-institusi tersebut memenuhi
kewajiban-kewajiban global.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang saya tarik pada kali ini adalah :
- Bahwa ilmu hubungan international adalah suatu ilmu yang tidak dapat berdiri sendiri melainkan membutuhkan beberapa disiplin ilmu lainnya sebagai pelengkap dan penunjang.
- Permasalahan dalam ilmu hubungan international adalah ketidakrelevannya suatu teori dengan prakteknya itu sendiri.
- Dunia sangat butuh ilmu ini karena sebagai perekat antara suatu negara atau bangsa dengan negara atau bangsa lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar